“Kayau” adalah identik dengan pembunuhan sadis berupa pemengalan kepala manusia. Beberapa suku di Indonesia mengenal tradisi pengayau. Salah satunya suku Dayak. Pengayauan menurut orang Dayak adalah adat, ritual yang tidak bisa sembarang dilakukan, tetapi mempunyai aturan. Banyak pantang yang harus dilakukan seperti tidak boleh menjarah dan memperkosa dan lain-lain.
Perlu diketahui tidak semua subsuku Dayak mengenal tradisi mengayau. Tetapi mayoritas suku Dayak mengenal tradisi ini. Menurut penulis masa Hindia Belanda, Bakker (1884), Salah satu suku Dayak yang paling ditakuti dalam dunia pengayauan adalah Dayak Jangkang. Kebetulan calon istri saya orang Jangkang, sempat ada komentar teman saya “calon istri abang orang jangkangkah?” awalnya saya tidak mengerti maksudnya, tetapi kemudian menjadi tahu maksud pertanyaan itu.
Tidak banyak sumber tertulis tentang pengayauan karena mengayau adalah adat, ritual yang sarat dengan tradisi lisan.
Tidak diketahui sejak kapan tradisi pengayauan mulai dilakukan, tetapi dipercaya sudah ada sejak ribuan tahun silam. Berbagai versi cerita lisan tentang awal mula tradisi ini beredar disetiap subsuku dayak. Dan cerita lisan masing-masing puak berbeda satu sama lain.
Berdasarkan cerita lisan dari beberapa orang tua yang saya temui dan dari beberapa literatur yang saya baca. Maka saya himpun beberapa alasan yang sebab pengayauan.
1. Untuk kesuburan tanah. Orang Dayak sangat yakin dalam mempersembahkan kepala manusia maka hasil panen akan melimpah
2. Untuk menambah kekuatan supranatural. Orang Dayak sangat mempercayai adanya kekuatan supranatural . Kekuatan tersebut adalah dalam jiwa manusia. Pusat kekuatan tersebut terdapat pada tengkorak manusia. Pemilikan atau penguasaan atas tengkorak manusia berarti penambahan jiwa bagi yang bersangkutan. Ini juga berarti menambah kesaktian. Dengan kekuatan tersebut seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan sukunya.
3. Untuk balas dendam. Jika ada orang Dayak dibunuh oleh orang lain, maka semua orang dalam suku pelaku tersebut harus bertanggung jawab. Ini dikenal dengan “hutang darah”
4. Untuk mas kawin. Dengan mas kawin kepala musuh menunjukan sang lelaki bisa bertanggung jawab melindungi istrinya kelak.
5. Sebagai tumbal berdirinya bangunan. Orang Dayak yakin bahwa rumah yang dibuat akan kokoh dan berarti jika diberi tumbal kepala manusia.
Mengayau ini dilakukan secara sportif. Untuk itu pada saat akan dan setelah mengayau harus diadakan serentetan upacara adat. Menurut adat Dayak Kanayatn, sebelum mengayau mereka melakukan upacara adat nyaru’ tariu (memanggil tariu) di panyugu atau pandagi (empat keramat untuk memanggil roh, mempersembahkan sesajen dan lain-lain). Tariu sendiri tidak bisa definisikan. Tetapi denga bertariu seseorang dapat menjadi berani, kebal dan sakti. Teriakan tariu dapat menimbulkan efek psikologis menjatuhkan moral musuh.
Upacara ini dilakukan untuk memohon kekuatan dan bantuan kepada Kamang (makhluk seperti manusia tetapi tidak kelihatan). Selesai mengayau mereka melakukan adat nyimah tanah (mencuci tanah). Hal ini dilakukan agar rasi (pertanda) yang jahat menghindari mereka.
Selain itu, mereka juga mengadakan upacara notokng (upacara menghormati kepala dan membuang dosa) sebanyak 7 turunan. Upacara ini biasa dilakukan berdasarkan permintaan orang yang dikayau. Dengan upacara notokng ini orang yang telah dikayau dihormati, seperti dimandikan, diberi makan dan ditidurkan dan pada saatnya dimakamkan dengan upacar notokng yang ketujuh (terakhir) yaitu notokng mubut.
Adat mengayau di kalangan orang Dayak perlahan-lahan berkurang dan berhenti. Ada beberapa alasan yang mendasari hal itu
1. Pertemuan Tumbang Anoi. Pertemuan ini diadakan pada tahun 1893 atas inisiatif pemerintahan Hindia Belanda. Mereka mengumpulkan semua kepala suku dan pemuka masyarakat dari seluruh Kalimantan, termasuk dari British Borneo (Malaysia). Salah satu butir kesepakatan pada waktu adalah mengakhiri kegiatan “kayau-mengayau” diantara suku Dayak. Bagi pemerintahan Hindia-Belanda, hal ini perlu dilakukan karena pegawai mereka sering sasaran pengayauan saat melaksanakan tugas ke pedalaman Kalimantan.
Pertemuan ini sendiri berhasil mengurangi “kayau-mengayau” secara drastis, walaupun tidak bisa menghentikannya sama sekali. Menurut penuturan beberapa orang kegiatan pengayauan masih terjdi hingga tahuan 1960an.
2. Masuknya agama Katolik dan Kristen. Agama dibawa oleh para misionaris ini mempunyai andil yang sangat besar bagi terhentinya adat pengayauan. Ajaran cinta kasih Kristen secara jelas bertentangan dengan pengayauan. Injil melarang membunuh orang dengan alasan apapun.
3. Kesadaran orang Dayak. Masyarakat Dayak akhirnya menyadari bahwa mengayau semakin lama dirasakan merugikan karena mereka merasakan sendiri bagaimana misalnya jika anak tunggalnya dikayau suku lain, seperti yang ia lakukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar